Aku, anak yang memang benar tidak mengerti apa
ini hidup, bagaimana caranya dan buat apa. Tapi, dsisi itu, aku masih punya
semangat untuk menjalani hidup ini. Umurku yang masih muda, 14 tahun. Namaku,
Ican aku seorang siswi dari SMP, yang masih harus belajar dengan giat, guna
menjadi orang yang berguna dan sukses. Sifat ku yang pendiam, cuek, dan egois.
Membuatku hanya memiliki satu teman alias sahabat yang menemaniku dengan
setianya, namanya Ita sebetulnya Rita, hanya saja aku lebih nyaman memanggilnya
dengan sebutan Ita. DULU, aku sempat membiarkan Ita begitu saja, namun aku
kembali dan meminta maaf kepada Ita, karena kusadar bahwa dialah sahabat satu
satunya yang sayang padaku, mengerti dan selalu ada untuk ku.
Hari ini cuaca terasa panas, Bandung yang baru
sudah berbeda dengan Bandung yang dulu. Banyak orang yang mengotori lingkungan
asri Bandung menjadi seperti ini, polusi sudah menyebar kesetiap penjuru yang
ada. Aku bersama Ita berada di kantin duduk bersama dan sambil mencicipi Es
Doger jlegernya Pak Engkus. Hausku tersapu begitu saja. Bel pulang pun
berdering aku bersama Ita pulang bersama menaiki sepeda masing – masing
kebetulan rumah Ita hampir berdekatan dengan rumah ku. Hanya beda 2 blok saja.
Siang itu, Ita tidak terlihat seperti biasanya, dia lebih cenderung diam dan
lemas. “Ita ngga kenapa – kenapa?” tannyaku cemas, “ngga cuman pusing sedikit
aja” jawab Ita dengan datar.
Keesokan paginya, aku datang lebih awal
sebelum Ita, biasanya Ita datang lebih dulu dibanding aku. Ita belum datang
juga, mungkin dia sedang dalam perjalanan. Bel berbunyi, sepertinya Ita tidak
akan masuk sekolah. Aku hawatir, Ita tidak mengabari apa – apa. Ponsel ku masih
saja tidak ada panggilan dan SMS. Hari ini kulalui dengan sendiri, jam pelajaran
seakan lama sekali tanpa Ita duduk disampingku. Istirahat pun tiba, aku
langsung menelfon Ita. Tut--- tut---- Namun tidak diangkat. Aku berencana akan
kerumah Ita sesudah pulang sekolah.
Aku sampai didepan rumah Ita. Aku memencet
tombol putih itu. Dan keluarlah seorang perempuan “iya? Ada apa? Dengan siapa?”
tannya nya. “Hm, ini Ican sahabatnya Ita. Itanya ada?” jawabku. “Oh, Ita, lagi
ngga ada di rumah. Ita lagi di rumah sakit ” Jantungku berhenti sejenak
mendengar jawaban perempuan itu. “Rumah sakit mana mba?” tannyaku segera,
“Harapan Bintang kalau ngga salah nomer kamarnya 159” “Makasih mba”. Aku
mengayuh sepedaku langsung menuju Rumahsakit Harapan Bintang.
Sesampainya aku disana, melihat seseorang yang
berbaring lemah. Diam, tidak bergerak dan tidak berkata apapun disaat ku
datang, disebelahnya ada kedua orang tua Ita yang sedang hawatir menunggu
kesadaran itu yang belum datang. “Siang, Om tante Ita sakit apa?” tannya ku
begitu aku sampai di kamar 159 ini. “Ita sakit, kemarin tiba – tiba pingsan”
“Oh, jadi Ita sakit apa tante?” tannya ku lagi. “Ita kena kanker” aku diam
mendengar jawaban dari orangtua Ita, aku tidak bisa berkata apa – apa lagi. Aku
langsung pamitan pulang kepada kedua orangtua Ita, sesudah pamit aku berlari ke
lantai dasar, lalu mengayuh sepeda, tanpa tujuan apapun.
Aku sampai, disuatu tempat yang belum pernah
aku kunjungi, indah semuanya tepat untuk aku bersembunyi, mengungkapkan semua
rahasia dan perasaan yang aku rasakan “dia
sahabat satu satunya berada di rumah sakit sedang melawan penyakitnya sendirian
”
Esok harinya, aku masuk sekolah tanpa ada Ita.
Ita, masih berbaring di kasur 159. Hari ini, semangat belajarku menurun, entah
apa yang ada di pikiran ku sekarang. Bayangkan jika kalian ada diposisiku,
hanya memiliki satu teman yang benar benar tulus untuk bersama ku tetapi dia
sedang berada di keadaan yang tidak seperti biasanya. Antara akan hidup atau
tidak.
Dua bulan kemudian. Ita masuk sekolah lagi,
dia sudah selesai melawan semua penyakit itu. Walaupun belum tahu kelanjutannya
akan seperti apa. Aku bersama dia kembali. Hari ini aku akan membawa Ita ke
tempat indah yang pernah aku temui pada saat aku tahu bahwa Ita terkena
penyakit kanker.
Aku membonceng Ita ketempat tersebut, dan
sampai. "Ita gimana tempatnya bagus nggak?" tannya ku kepada Ita dan
berharap Ita suka dengan tempat ini. "Bagus, udaranya enak, radar dari
mana bisa nemu tempat kayak gini?" "Radar semut ta :P" aku
mengajak Ita bercanda walau sebetulnya aku tahu, aku tidak bisa bercanda tawa
berkata haha hehe. Dan Ita menghargaiku dengan senyuman dan tawa kecilnya. Aku
bahagia Ita bisa tertawa lagi.
"Ita, Ita cerita dong Ita suka sama siapa
di kelas?" Tannya ku penasaran, karena akhir - akhir ini Ita belum cerita
mengenai apa - apa, sudah dua bulan Ita tidak mengetahui perkembanganku di
sekolah, mengenai sosial ku. Ita sedikit menyimpulkan senyum nya, lalu berkata
"Nanti aja deh, belum pasti heheheh" "Oke nggak apa apa ta...
mulai rahasia rahasia an nih ah" "Kamu juga kok, ngga cerita apa apa
lagi sama aku :p" "Oke, nanti aku cerita deh kalau udah tepat
waktunya ta ^^"
Empat bulan berjalan dengan seperti biasanya,
aku dan dia semakin dekat. Dia adalah seseorang yang aku suka akhir - akhir
ini. Aku juga merasa, dia suka padaku. Tapi semuanya belum pasti, mungkin aku
hanya ke GR-an saja. Dia namanya Domi. Tapi, apapun itu aku mulai mempunyai
rasa 38% ke Domi, apalah itu perasan yang bikin aku ngga karuan kalau ada Domi.
Aku, belum cerita mengenai ini ke Ita.
1 bulan berlalu, ini saat yang tempat untuk
mengobrol mengenai topik yang kemarin tidak jadi – jadi dibicarakan. Ini saatnya aku menyempatkan diriku utuk
memulai topik ini. “Ita, yang waktu itu belum dijawab sama Ita :P” “Pertanyaan
apa memang Can?” jawab Ita, “Masa lupa?” tannyaku kembali “beneran deh aku
lupa” jawab Ita sepertinya meyakinkan. “Kamu suka sama siapa?, kan waktu itu
aku nannya cuman kamu belum jawab siapa orangnya” Ita terdiam dan menjawab
“Oh,.. Itu iya aku belum sempet jawab, tapi kayaknya orang yang aku suka udah
suka sama orang lain deh can :(” aku menebak – nebak tapi tidak mendapat jawabannya “siapa sih ta?” “Ya
tapi kamu jangan bilang siapa – siapa ya” “pasti Ta” janjiku kepada Ita. “Iya,
aku suka sama Domi can, tapi kayaknya Domi suka sama orang lain. Soalnya setiap
aku ngedeketin Domi, Domi selalu menghindar akhir – akhir ini”. Aku tidak bisa
berkata apa – apa lagi, Ita juga suka sama Domi, dan aku pun begitu. Aku tidak
menanggapi jawaban Ita, aku hanya merasa aku salah mempunyai perasaan seperti ini, tidak sepantasnya aku
seperti itu.
3 minggu ini, aku
hanya bisa pasrah ketika Domi mendekati aku, aku hanya berusaha untuk tidak
mebuat Ita curiga atas perasaan yang ada ini. Domi pun sepertinya merasa aneh
dengan sifat ku akhir –akhir ini. Aku, mulai merelelakannya untuk Ita, walau
aku tahu ini bukan keputusan yang baik untuk ku. Ita juga seperti nya mulai
mencurigai perasaan yang aku sembunyikan - sembunyikan ini, karena Domi terus mendekati ku. Sungguh perasaan ini udah ngga
bisa di tutup – tutupi lagi, semakin menjadi – jadi. Tuhan, bantu aku . Aku hanya bisa berdoa dan meminta bantuan-Nya
untuk mendapatkan keputusan yang baik, dan aku selalu mencoba mendapatkan jawaban untuk senditi, aku ingin menghapuskan perasaan ini, walau susah tapi aku mencoba untuk
menjauh dari Domi, mungkin perlahan aku bisa, MUNGKIN.
Domi, sepertinya mulai
menunjukan perasaannya ke aku, walau ini 89% aku tidak bisa menutupinya lagi bahwa aku suka dengan Domi. Semua ini
terasa canggung, hubunganku dengan Ita, seperti nya Ita sudah mendapat jawaban
yang tepat bahwa aku suka dengan Domi. Ita, merasa kecewa dengan semua ini, dia
tidak sempat berbicara apa apa dengan ku hari ini. Ini semua membuatku
mendapatkan pilihan, Domi atau Ita. Ita membuatku jengkel, tidak tahu apa yang
membuat ku tidak terkontrol lagi, Domi menyatakan perasaannya kepada ku, aku tahu aku salah, aku menerima Domi. AKU MEMBUAT KESALAHAN YANG
BESAR.
Ita, tidak masuk hari
ini. Menurutku Ita sakit lagi, aku akan menjenguknya. Aku tahu aku salah,
menerima Domi. SALAH BESAR.
Aku sampai di rumah sakit, kamar itu lagi yang
membuatku ingin teriak, melampiaskan apa yang kurasa kali ini, bimbang, sedih,
emosi dan jatuh cinta. “Ita, gimana kabarnya?” tannyaku kepada seseorang yang
sedang berbaring disana, “Mungkin, aku sedang tidak baik” “cepat sembuh ya Ta”
“Makasih can “ ”Sama – sama Ta, Ta Domi mau nembak kamu barusan, tapi kamunya
lagi di rumah sakit” pernyataan yang bohong yang ku buat, ku sengaja mebuat
skenario gila, aku tahu yang lebih membutuhkan Domi adalah Ita bukan Ican. Ita
tersenyum, terlihat dari ekspresi mukanya wajah gembira dan aku membuat perasaan lain yang harus kutumbuhkan didalam hati ini sekarang, dengan terpaksa aku mencoba untuk ikut berbahagia dengan skenario
ini.
Ita dan Domi, terlihat
berbahagia walau ketika Domi melihat ku penuh banyak tanda tannya yang ia ingin
lontarkan, tapi aku selalu menhindar dari kejaran tanda tannya itu. Keadaan Ita, semakin memburuk, padahal semua ini sudah hampir sempurna. Aku
melihat Domi dan Ita yang sedang bersama dan aku sendiri melihatnya dengan hati
yang bergejolak. Sulit menghadapi semua ini.
Singkat dan terlalu cepat cerita ini. Ita sudah tiada, nafasnya berhenti tidak bernyawa, sedang ada diatas langit melihatku sendiri, menyesal dan penuh dosa. Alur cerita ini terlalu cepat,
skenario ini melenceng kemana – mana. Aku disini, sudah tidak punya siapa –
siapa lagi, kecuali aku dan bayanganku. Dan Domi sudah menemukan pengganti ku
dan Ita sepertinya. Tak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, aku menulis surat untuk Ita, melemparnya ke samudra luas
berharap pesan ini sampai ke tempat Ita berada sekarang.
Dear my best friend, Rita
Ta, maafin aku atas
semua ini mulai dari cinta segitiga yang ngga kamu ketahui, skenario sadis yang
kubuat, dan ide ide gila yang muncul di otak ini. Maaf kan aku Ita, aku tidak
tahu apa yang harus kulakukan tanpamu disini. Ta, doakan aku akan bertemu
dengan mu disana, surga yang sudah dijanjikan untuk kita saat kita lahir.
Singkat surat permintaan maafku untukmu, salam sahabat berlumur dosa.
Karangan. Tiravy Fatarani Firdaus